apalagi.net–SAMARINDA. Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda melakukan rapat terkait penertiban Bahan Bakar Minyak (BBM) eceran atau dikenal sebagai Pertamini pada, Senin (23/4/2024) di Balaikota Samarinda.
Persoalan usaha Bahan Bakar Minyak (BBM) eceran tersebut telah mendapat kepastian hukumnya. Sehingga, Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda mampu memutuskan langkah ke depannya.
Selama beberapa waktu, Pemkot Samarinda telah menelaah dasar hukum terkait Pertamini yang marak. Apalagi, persoalan ini menjadi perhatian bagi pemerintah lantaran beberapa kasus kebakaran yang disebabkan meledaknya Pertamini.
Rapat dipimpin oleh Wali Kota Samarinda, Andi Harun. Ia pun memaparkan kepada awak media dasar hukum apa saja yang digunakan. Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi, kegiatan usaha hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha yang telah memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh menteri dan diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.
Izin usaha ini pun juga harus mengantongi Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 47892 dalam Izin usaha dan/atau memenuhi kewajiban syarat berusaha lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini tertuang di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 ataupun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
“Kegiatan usaha minyak bumi dan gas (migas) tidak dapat dilaksanakan di tempat umum, sarana dan prasarana umum, bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan dan sekitarnya. Kecuali dengan izin pemerintah, persetujuan masyarakat dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut,” jelasnya.
Sehingga dengan dasar hukum tersebut dan yang berkaitan, kegiatan penjualan BBM eceran termasuk Pertamini yang tidak memiliki ijin, maka dikualifikasikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Sesuai dengan Surat Kepala BPH Migas Nomor 715/07/Ka.BPH/2005 tanggal 4 September 2015 perihal Tanggapan Terhadap Legalitas Usaha Pertamini dan Pendistribusian BBM untuk Pertamini.
Andi Harun menjelaskan, kegiatan usaha hilir migas yang tidak memiliki izin, maka ada 3 potensi ancaman sanksi. Baik pidana maupun dendanya.
“Pertama, kegiatan usaha penjualan BBM eceran yang tidak memiliki ijin, maka patut diduga melanggar ketentuan pasal 53 juncto pasal 23 UU Nomor 21 Tahun 2001. Dengan ancaman sanksi penjara paling lama 3 tahun dan denda paling tinggi Rp 30 miliar,” ucapnya.
“Kedua, apabila kegiatannya tidak memiliki ijin dan menjual BBM bersubsidi. Maka diduga melanggar ketentuan pasal 53 juncto pasal 55 UU Nomor 21 Tahun 2001. Dengan ancaman sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling tinggi Rp 60 miliar,”sambungnya.
Ketiga, jika usaha tersebut mengakibatkan kebakaran dan/atau karenanya mengakibatkan korban meninggal/cacat dan/atau bentuk akibat/kerugian secara material maka bisa dikenakan pasal berlapis, yakni adanya UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Penyalur untuk kota yang tersedia itu adalah SPBU. Masyarakat membelinya hanya diperbolehkan di SPBU. SPBU menjual pertamini juga melanggar karena SPBU ujung terakhir sebagai penyalur yang langsung berhubungan dengan konsumen,” pungkasnya. (Adv)